Home » » Robert Shiller dan Imam Syatibi

Robert Shiller dan Imam Syatibi

Written By Unknown on Senin, 13 Mei 2013 | 03.57

Robert Shiller, guru besar ekonomi Yale University, salah satu dari 100 ekonom yang paling berpengaruh di dunia karena analisanya tentangn financial market volatility dan dynamics of asset prices dalam buku barunya, Finance and the Good Society, mengingatkan kita semua agar segala kreativitas yang selama ini telah membawa kemajuan dan kemaslahatan bagi perekonomian dunia tidak disalahgunakan untuk melakukan bebagai inovasi keuangan yang malah merusak semua kebaikan yang telah dicapai.

Shiller juga mengajak kita agar tidak menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengutuk berbagai inovasi keuangan yang telah menciptakan krisis yang dalam dan panjang karena yang keliru bukanlah kreativitasnya. Yang keliru adalah kreativitas tersebut tidak digunakan untuk melakukan inovasi yang membawa manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Shiller mengajak kita semua untuk kembali memposisikan semua kreativitas inovasi keuangan sebagai alat untuk menjaga harta masyarakat, bukan sebagai alat manipulasi uang dengan segala pengelolaan resikonya.

Shiller menegaskan, dunia akan terus membutuhkan berbagai inovasi keuangan yang menjaga harta masyarakat, karena tujuan dari kreativitas inovasi itu adalah untuk membawa kesejahteraan masyarakat.  Buku Shiller ini mengingatkan kita kepada seorang ahli ushul fikih bermazhab Maliki dari Granada (Spanyol) yaitu Imam Al-Syatibi (w. 790 H). Konsep ini ditulis dalam kitabnya yang terkenal, Al-Muwwafaqat fi Ushul al-Ahkam, khususnya pada juz II, yang beliau namakan kitab al-Maqashid.

Dalam kitab itu Imam Syatibi merumuskan lima tujuan utama syariah (maqasid syariah) yaitu menjaga agama (hifzh ad-din), menjaga jiwa (hifzh an-nafs), menjaga akal (hifzh al-'aql),  menjaga keturunan (hifzh an-nasl), dan menjaga harta (hifzh al-mal).

Dalam kontek menjaga harta inilah, buku Shiller patut diacungi jempol karena mengingatkan kembali tujuan utama ilmu ekonomi, sekaligus mengingatkan kita betapa jauh visi Imam Syatibi dan relevansi kitab yang ditulis ratusan tahun lalu itu terhadap persoalan ekonomi saat ini.

Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Syatibi hidup pada masa banyak terjadi perubahan penting. Granada pada abad ke-14 mengalami berbagai perubahan dan perkembangan politik, sosio-religius, ekonomi dan hukum yang nantinya akan berpengaruh terhadap pola pikir dan produk pemikiran hukum al-Syatibi.

Masyarakat Granada yang heterogen bersikap fleksibel dalam relasi sosialnya dengan interaksi intensif antara orang Islam dan orang Yahudi dan berbagai golongan Kristen, baik dalam relasi sosial maupun bisnis. Hal ini dimungkinkan karena adanya hubungan diplomatik dan bisnis dengan kerajaan Kristen, Ferdinand III penguasa Castille, berdasarkan perjanjian perdamaian pada 643 H. Berbagai inovasi terjadi cepat di Granada saat itu. Berbagai fatwa muncul tanpa arah yang jelas, baik yang dilatarbelakangi kepentingan politik maupun yang dilatarbelakangi perbedaan mazhab fikih.

Penggunaan prinsip mura'ah al-khilaf atau inklusivitas perbedaan pemikiran yang digunakan sebagai wujud penghargaan atas perbedaan pendapat dengan cara perlakuan yang sama justru membuat masalah menjadi semakin kompleks. Semua pendapat sama kuat kebenarannya.

Al-Syatibi menganggap penggunaan prinsif mura'ah al-khilaf yang tidak tepat ini menjadikan hukum tanpa jiwa. Hukum akhirnya menjadi realitas tersendiri yang terlepas dari realitas kebutuhan akan aturan main dalam rangka mendapatkan kemaslahatan dan kemudahan hidup.

Kegelisahan Syatibi juga kegelisahan Shiller terhadap melencengnya inovasi ilmu dari tujuan ilmu itu sendiri, juga terdengar bergema di Annual Meeting AAOIFI ke-12 di Bahrain pertengahan april yang lalu. Lebih dari seratus ulama dari berbagai negara hadir dalam acara tahunan tersebut, lima diantaranya ahli ekonomi syariah Indonesia yang menjadi pengajar di berbagai universitas di Bahrain.

Rapat Dewan Syariah IIFM di Bahrain, satu hari sebelum Annual Meeting AAOIFI juga menyuarakan hal yang sama. Dewan Syariah dari berbagai negera termasuk satu orang dari Indonesia, berupaya memastikan ruh syariah melekat pada produk keuangan syairah global IIFM, lebih dari sekedar sesuai syariah.

Adanya kecenderungan meniru produk keuangan konvensional, memilah-milah produk tersebut dalam satu rangkaian proses, dan merangkaikan kembali produk itu dengan rangkaian akad-akad syariah menimbulkan kegelisahan yang sama dengan yang dirasakan Imam Syatibi dan Shiller.

Ironisnya lagi, ketika Shiller mengkritik inovasi-inovasi keuangan yang melenceng dari tujuannya, beberapa pemain industri malah mendorong para ualama untuk mengadopsinya menjadi produk syariah. Annual Meeting AAOIFI di Bahrain kembali mengingatkan perlunya kembali kepada metode yang digunakan Imam Syatibi, yaitu metode ulum al-wasa'il wa'ulum al-moqasid atau metode esensi dan hakikat.

Shiller bukan satu-satunya guru besar ekonomi yang gelisah akan perkembangan ilmu yang melenceng jauh dari tujuannya. John Quiggin, guru besar ekonomi University of Queensland, menulis buku barunya Zombie Economics: How Dead Ideas Still Walk Among Us.

Ekonomi liberal yang ditopang oleh tiga pilar sudah seharusnya ditinggalkan. Pilar pertama, deregulasi ekonomi dapat mengatasi siklus keuangan. Pilar kedua, mekanisme pasar merupakan cara terbaik. Pilar ketiga, kebijakan ekonomi yang ditujukan untuk kemaslahatan kelompok kaya akan membuat masyarakat keseluruhan pada akhirnya akan merasakan manfaatnya.

Quiggin mempertanyakan ide yang jelas telah membawa kerusakan ekonomi berupa krisis ekonomi yang dalam dan berkepanjangan, namun anehnya ide ini masih saja diusung oleh banyak ekonom dan pemimpin politik.  keyakinan buta (unthinking faith) bahwa mekanisme pasar dapat menyelesaikan masalahnya sendiri membutakan pasar sehingga mereka melihat investasi spekulatif sebagai suatu investasi yang aman secara fundamental. Kembali ke ilmu ekonomi tradisional Keynesian dan ekonomi kesejahteraan (walfare State) tidak cukup untuk menjawab tantangan ekonomi yang ada, tulis Quiggin.

Ini saatnya Indonesia menunjukan pada dunia bahwa ekonomi syariah di Indonesia dapat menjawab tantangan itu. Ini saatnya kita menunjukan ekonomi syariah di Indonesia bukan sekedar meniru dan mengikuti inovasi keuangan konvensional. Ini saatnya kita mengembangkan ekonomi Indonesia dengan merujuk pada metode 'ulum al-wasa'il wa 'ulum al-maqasid atau metode esensi dan hakikat. Hanya ekonomi syariah yang mempunyai ruh Islam yang mampu masuk ke relung-relung jiwa manusia, Muslim maupun non-Muslim, mengembalikan ekonomi pada tujuan awal, yaitu menjada harta (hifz al-mal) untuk membawa kesejahteraan masyarakat.

Refferensi:
Adiwarman A Karim, Republika, Senin 13 Mei 2013

KULIAH MURAH DI BANDUNG RAYA

KULIAH MURAH DI BANDUNG RAYA
BIAYA SPP 350.000 PER BULAN

BUKU AKUNTANSI SYARIAH

Diberdayakan oleh Blogger.